Rocky Gerung Soroti Posisi Gibran di Belakang Prabowo dan Megawati: Wapres Kehilangan Marwah?

"Rocky Gerung kritik posisi Gibran Rakabuming Raka saat upacara Hari Lahir Pancasila 2025. Gibran berjalan di belakang Prabowo dan Megawati, dinilai k

Gibran Rakabuming Raka, Hari Lahir Pancasila 2025, Wakil Presiden.

Jakarta, 3 Juni 2025
– Momen peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan secara kenegaraan di Jakarta kembali menyita perhatian publik, bukan hanya karena maknanya yang historis, tetapi juga karena dinamika politik yang tersirat dalam gestur para tokoh negara. Salah satu yang menjadi sorotan hangat kali ini adalah posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat mendampingi Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, dalam upacara resmi tersebut.

Prosesi yang digelar di halaman Kementerian Luar Negeri, Senin (2/6/2025), menjadi viral setelah publik menyaksikan Gibran berjalan di belakang Prabowo dan Megawati saat memasuki area upacara. Padahal, sebagai Wakil Presiden RI, posisi Gibran semestinya setara atau sejajar dengan Presiden Prabowo dalam konteks simbol kenegaraan. Fenomena ini pun langsung mengundang analisis dari berbagai kalangan, termasuk dari pengamat politik sekaligus akademisi, Rocky Gerung.

Rocky Gerung Kritik Bahasa Tubuh Gibran Jalan Dibelakang Megawati: Simbol Politik yang Dalam

Dalam video terbarunya yang diunggah di kanal YouTube pribadinya, Rocky Gerung menilai bahwa momen tersebut tidak bisa dipandang sebagai insiden sepele. Menurutnya, gestur Gibran yang berjalan di belakang Megawati memperlihatkan ketidakseimbangan simbolik dalam tatanan protokoler kenegaraan, serta bisa dimaknai sebagai bentuk kehilangan otoritas simbolik dari seorang Wakil Presiden.

“Yang diperhatikan publik bukan cuma siapa yang bicara atau pidato, tapi juga urutan berjalan dan posisi duduk. Gibran, sebagai Wakil Presiden, justru berada di belakang Megawati yang hanya seorang ketua umum partai politik. Ini tentu menimbulkan tafsir politik yang dalam,” ujar Rocky dalam analisisnya.

Lebih jauh, Rocky menyebut bahwa bahasa tubuh atau gesture adalah bagian dari komunikasi politik yang tidak bisa diabaikan. Dalam konteks ini, posisi Gibran menurutnya bukan hanya urusan protokoler, tetapi juga cerminan hubungan politik antara dirinya, Presiden Prabowo, dan Megawati, yang dikenal memiliki hubungan kompleks terutama pasca Pilpres 2024.

Ketegangan Politik antara Jokowi dan PDIP Masih Membekas?

Rocky Gerung juga menyinggung potensi ketegangan yang masih tersisa antara kubu Presiden Joko Widodo—ayah dari Gibran—dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang sebelumnya sempat menunjukkan ketidakharmonisan jelang Pilpres lalu. Ia meyakini bahwa gesture berjalan di belakang Megawati bukan hanya bentuk penghormatan, tetapi bisa mencerminkan masih adanya friksi politik.

“Publik tentu tak lupa bahwa hubungan antara Jokowi dan PDIP, terutama Megawati, sempat memanas. Dan gesture Gibran ini bisa saja mencerminkan lanjutan dari ketegangan itu. Tidak berjalan sejajar dengan Prabowo, tapi justru di belakang Megawati, bisa dibaca sebagai simbol politik yang gamang,” terang Rocky.

Menurut Rocky, kegamangan Gibran itu terlihat jelas dalam langkah-langkahnya yang kaku dan penuh keraguan. Ia bahkan menyebut bahwa Gibran tampak kehilangan kepercayaan diri sebagai pejabat tertinggi kedua di negeri ini.

Gibran Dinilai Kehilangan Marwah sebagai Wakil Presiden

“Seorang wakil presiden harus punya posisi simbolik yang jelas, apalagi dalam acara resmi kenegaraan. Tapi kali ini, Gibran terlihat kehilangan marwahnya sebagai Wapres. Bukan karena dia tak pantas, tapi mungkin karena beban politik sebelumnya yang masih mempengaruhinya,” tambah Rocky.

Ia menyayangkan bahwa figur muda seperti Gibran justru berada dalam bayang-bayang dinamika partai politik yang sarat dengan sejarah konflik. Padahal, menurut Rocky, seharusnya Gibran mampu menunjukkan posisi tegas sebagai pemimpin negara, bukan sekadar figur pendamping.

Respons Publik Terbelah: Simbol Kehilangan atau Etika?

Meski mendapat kritik tajam dari Rocky Gerung dan sebagian pengamat politik, tidak sedikit pula masyarakat yang justru menilai gesture Gibran sebagai bentuk etika dan penghormatan terhadap senior-seniornya. Mereka beranggapan, sebagai tokoh muda yang baru menempati posisi strategis, Gibran menunjukkan sikap rendah hati dan kesantunan politik.

Sejumlah komentar di media sosial menyebut bahwa Gibran tidak sedang kehilangan marwah, melainkan sedang menjaga harmoni dan menunjukkan etika bernegara. “Gibran itu tahu diri, tahu siapa yang lebih senior. Tidak berarti dia lemah, justru itu tanda dia menghormati sejarah dan tokoh bangsa,” tulis salah satu pengguna Twitter.

Beberapa lainnya juga menyatakan bahwa protokoler semacam ini tidak selalu kaku dan bisa diinterpretasikan dari berbagai sisi. Menurut mereka, jangan sampai etika personal seperti memberi jalan kepada tokoh bangsa yang lebih tua disalahartikan sebagai kelemahan simbolik.

Pakar Protokol: Penempatan Tokoh Harus Sesuai Status Kenegaraan

Sementara itu, beberapa ahli protokol menyatakan bahwa dalam acara resmi kenegaraan, penempatan tokoh-tokoh negara seharusnya tetap mengikuti struktur protokoler yang sudah ditetapkan. Wakil Presiden, sebagai pejabat negara nomor dua, seyogianya berjalan beriringan atau sedikit di belakang Presiden, bukan di belakang ketua umum partai politik.

“Dalam konteks negara, posisi protokoler itu penting. Karena selain mencerminkan hierarki jabatan, juga menjaga simbol kenegaraan agar tidak terjadi salah tafsir publik,” ujar seorang ahli protokol dari Lembaga Administrasi Negara.

Namun demikian, mereka juga menyadari bahwa dinamika politik seringkali mempengaruhi suasana di lapangan. Kadang kala, sikap pribadi tokoh yang ingin menghormati pihak lain membuat penempatan posisi tidak selalu sesuai dengan ketentuan formal.


Peristiwa yang terjadi dalam upacara Hari Lahir Pancasila 2025 ini kembali membuktikan bahwa dalam dunia politik, tidak ada hal yang benar-benar sepele. Gestur, posisi berdiri, bahkan urutan berjalan, bisa memiliki makna yang dalam dalam membentuk persepsi publik.

Apakah Gibran memang sedang kehilangan marwahnya sebagai Wapres? Ataukah ia justru menunjukkan kedewasaan politik dan etika publik? Waktu yang akan menjawab. Namun yang pasti, momen ini telah membuka ruang diskusi baru tentang bagaimana seorang pemimpin muda harus menavigasi kompleksitas protokol, etika, dan simbolisme dalam panggung politik nasional.


Rate This Article

Thanks for reading: Rocky Gerung Soroti Posisi Gibran di Belakang Prabowo dan Megawati: Wapres Kehilangan Marwah?, Sorry, my English is bad:)

Getting Info...

Post a Comment

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.