Pertelevisian Indonesia, yang dahulu menjadi salah satu sarana edukasi dan hiburan berkualitas bagi masyarakat, kini tengah berada di titik nadir. Penurunan kualitas konten televisi nasional bukanlah sekadar isu subjektif, tetapi sebuah fakta nyata yang dapat diamati secara kasat mata melalui tayangan-tayangan yang dihadirkan setiap hari di layar kaca.
Alih-alih mengedepankan prestasi, etika, dan edukasi, kini banyak stasiun televisi justru berlomba-lomba menyuguhkan tontonan yang mengedepankan kontroversi, sensasi murahan, dan menghadirkan tokoh-tokoh yang tidak memiliki kontribusi nyata bagi bangsa. Situasi ini menjadi ironi, terutama di tengah semangat generasi muda yang sedang berjuang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Konten Sensasi Mengalahkan Prestasi Di PERTELEVISIAN INDONESIA
Salah satu indikasi bobroknya dunia pertelevisian Indonesia adalah pilihan narasumber atau bintang tamu yang diundang dalam berbagai program. Sosok-sosok yang menjadi viral karena kontroversi kerap kali mendapatkan panggung lebih luas dibandingkan mereka yang benar-benar berprestasi dan membawa harum nama bangsa.
Sebuah contoh yang mencolok adalah viralnya seorang wanita yang dikenal luas karena mengkritik kebijakan tokoh publik seperti Dedi Mulyadi. Kritik tersebut, meski menjadi hak warga negara, seolah sengaja diekspos berlebihan oleh media televisi tanpa dasar prestasi atau kontribusi yang jelas dari sosok tersebut terhadap negara. Ia justru diundang ke berbagai program televisi nasional, diwawancarai, bahkan diangkat menjadi simbol "keberanian" dalam bersuara.
Bandingkan dengan nasib Safira, seorang wanita muda berbakat yang baru-baru ini mencetak sejarah dengan membawa Indonesia lolos ke Piala Dunia Catur. Di tengah derasnya arus informasi, prestasi monumental ini nyaris tidak mendapat tempat di layar kaca. Tidak ada talk show, wawancara khusus, atau bahkan sekadar cuplikan berita utama yang menyoroti keberhasilannya. Ini adalah bentuk nyata dari ketidakadilan media dalam mengapresiasi anak bangsa.
Pola Tayangan TV Indonesia Dari Edukasi ke Eksploitasi
Dalam satu dekade terakhir, pergeseran tema dalam tayangan televisi sangat terasa. Dulu, acara edukatif seperti kuis pengetahuan, dokumenter budaya, atau bincang-bincang ilmiah cukup mendominasi. Namun kini, acara reality show murahan, talk show penuh gosip, dan sinetron dengan alur repetitif dan nilai moral yang lemah justru menjadi primadona.
Acara talk show sore dan malam hari yang dulunya menjadi wadah diskusi serius kini berubah menjadi ajang adu mulut selebritas dan influencer dadakan. Program investigasi yang dulu mengungkap fakta-fakta penting tentang masyarakat kini tergantikan oleh konten prank dan hiburan tidak bermutu.
Peran Media dalam Mendidik atau Menyesatkan
Media massa, termasuk televisi, memiliki tanggung jawab moral dan sosial yang besar dalam membentuk karakter dan pola pikir masyarakat. Namun sayangnya, banyak media kini justru menomorduakan nilai-nilai tersebut demi mengejar rating dan keuntungan iklan.
Tokoh-tokoh dengan latar belakang kontroversial, yang bahkan tidak segan menunjukkan perilaku tidak etis di media sosial, justru dijadikan idola baru. Mereka diundang ke acara televisi, ditampilkan sebagai figur inspiratif, padahal kontribusi mereka terhadap negara bisa dibilang nihil.
Sebaliknya, sosok seperti Safira yang seharusnya dijadikan contoh bagi generasi muda karena dedikasi dan prestasinya, tidak dilirik sedikit pun. Padahal, kisah perjalanannya dalam dunia catur bisa menjadi inspirasi besar dalam dunia pendidikan dan pembinaan karakter bangsa.
Mengapa Tokoh Prestasi Diabaikan TV Indonesia?
Ada beberapa alasan mengapa tokoh-tokoh berprestasi sering kali luput dari sorotan media televisi:
-
Kurangnya Nilai Sensasi: Tokoh berprestasi umumnya tidak menciptakan kontroversi. Mereka lebih fokus pada kerja keras, proses, dan hasil. Sayangnya, dalam dunia pertelevisian yang kini dikuasai oleh algoritma viralitas dan clickbait, tokoh seperti ini dianggap “kurang menjual”.
-
Minimnya Dukungan Promosi: Banyak tokoh berprestasi tidak memiliki jaringan promosi yang kuat. Mereka tidak punya manajemen artis atau tim media sosial yang mampu mendorong nama mereka ke publik. Sementara sosok-sosok viral biasanya memiliki jaringan luas yang dapat mengangkat nama mereka dengan cepat.
-
Pola Konsumsi Penonton: Sebagian masyarakat pun kini lebih menyukai konten ringan dan sensasional dibandingkan informasi yang mendidik. Ini membuat stasiun televisi lebih memilih menuruti arus permintaan pasar daripada membentuk pasar yang berkualitas.
Contoh Lain: Atlet, Ilmuwan, dan Seniman yang Diabaikan
Fenomena ini bukan hanya terjadi pada Safira. Sebelumnya, banyak atlet Indonesia yang meraih medali di ajang internasional seperti SEA Games atau Olimpiade juga mengalami nasib serupa. Mereka hanya mendapat pemberitaan singkat, tanpa ada kelanjutan pembahasan mendalam di media televisi.
Begitu pula dengan ilmuwan muda yang meneliti energi terbarukan, siswa Indonesia yang memenangkan olimpiade matematika, atau seniman yang tampil di festival seni dunia. Prestasi mereka nyaris tidak pernah mendapat panggung utama di pertelevisian nasional.
Dampak Buruk bagi Generasi Muda
Ketika tokoh-tokoh tanpa prestasi mendapat panggung luas, sementara yang berprestasi diabaikan, maka yang terjadi adalah pembelokan standar sosial. Generasi muda yang menyaksikan tayangan semacam ini akan terpengaruh untuk lebih mengagumi selebritas instan dibandingkan ilmuwan, atlet, atau seniman.
Ini bukan hanya menciptakan krisis keteladanan, tetapi juga mengancam masa depan bangsa. Anak-anak tidak lagi bercita-cita menjadi dokter, guru, atau insinyur, melainkan ingin menjadi artis kontroversial atau selebritas media sosial yang viral.
Apresiasi yang Terlambat TV Indonesia Terhadap Orang Berprestasi
Bahkan ketika media akhirnya melirik tokoh berprestasi, apresiasi yang diberikan cenderung bersifat simbolik dan setengah hati. Tidak ada upaya untuk membangun narasi panjang atau dokumenter khusus yang menggali perjuangan mereka.
Padahal, pertelevisian Indonesia memiliki peran penting dalam membangun citra nasional melalui sosok-sosok berprestasi. Dengan pengemasan yang tepat, kisah mereka bisa menjadi inspirasi, motivasi, dan pelajaran bagi jutaan pemirsa.
Perbandingan PERTELEVISIAN INDONESIA Dan Negara Lain
Jika dibandingkan dengan pertelevisian negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, atau bahkan India, maka tampak jelas perbedaannya. Di negara-negara tersebut, tokoh berprestasi seperti ilmuwan muda, atlet nasional, dan peraih medali internasional sering menjadi bintang tamu utama dalam program TV nasional. Mereka diberikan penghargaan terbuka dan dijadikan role model yang nyata bagi publik.
Di Indonesia? Prestasi sering kali hanya menjadi headline sesaat—itu pun jika tidak kalah oleh gosip artis yang baru bertengkar di media sosial.
Solusi: Bangkitkan Martabat Pertelevisian
Meskipun realita saat ini menyedihkan, masih ada harapan untuk membenahi pertelevisian nasional. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:
-
Reformasi Konten: Lembaga penyiaran harus mulai menata ulang kebijakan konten dengan menyeimbangkan antara hiburan dan edukasi.
-
Memberi Ruang Prestasi: Tokoh-tokoh berprestasi seperti Safira dan banyak lainnya harus mendapat ruang tayang yang layak. Tidak sekadar “sekilas info”, tetapi dalam bentuk program inspiratif yang mendalam.
-
Kolaborasi dengan Komunitas Prestasi: Stasiun TV sebaiknya menjalin kerja sama dengan komunitas akademik, olahraga, seni, dan teknologi untuk menghadirkan tokoh-tokoh hebat di layar kaca.
-
Mengubah Pola Pikir Penonton: Edukasi publik untuk menyukai tayangan yang berkualitas juga penting. Ini bisa dilakukan dengan kampanye media dan program khusus yang menarik tetapi tetap mengedukasi.
-
Peran KPI dan Pemerintah: Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan lembaga pemerintah terkait harus tegas dalam mengawasi dan memberi penghargaan terhadap tayangan yang membangun kualitas bangsa.
Pertelevisian Indonesia tidak boleh terus-menerus terjebak dalam arus konten murahan dan sensasional. Sudah saatnya kita sebagai bangsa menuntut perubahan—perubahan yang mengangkat derajat insan berprestasi seperti Safira dan ribuan tokoh muda lainnya yang tengah berjuang di belakang layar demi mengharumkan nama bangsa.
Mari jadikan layar kaca bukan sekadar cermin sensasi, tetapi sebagai jendela inspirasi dan wadah apresiasi. Karena masa depan bangsa ini, sebagian besar dibentuk oleh apa yang ditonton dan dikagumi oleh generasi mudanya hari ini.
Rate This Article
Thanks for reading: Tv INDONESIA Semakin Bobrok Prestasi Kalah Sama Sensasi, Sorry, my English is bad:)